Limerence pt.2

h.
7 min readAug 11, 2023

--

Beomgyu yang sedang kenakan satu set pakaian yang baru saja jadi setelah satu minggu pengorbanan seorang Choi Yeonjun hanya mampu menatapnya cemas. “Take some rest, dummy.”

Memang baru sekitar satu minggu mereka menjadi teman, tapi tak perlu satu minggu untuk mengingatkan Yeonjun pada dirinya sendiri. Yeonjun yang tak tenang tidur, bahkan melewatkan beberapa kali jam makan hanya untuk selesaikan jahitannya, perbaiki konsep, bahkan mengubah beberapa hal yang semakin buat kalut pikirannya.

“Iya, bentar,” jawab seseorang yang kelelahan tapi tetap paksakan dirinya menggambar pola pada kain satin berwarna marun itu.

Beomgyu menghampiri, dengan ankle boots yang ia lepas ketika berjalan menuju sebuah meja di mana Yeonjun tengah kembali menggambar pola.

Five hours already, let's have a lunch.”

“Ben—”

“Gak ada bentar, it's 2pm,” tukasnya. “Kalo lo sakit, siapa yang mau ngejait baju gue? Siapa yang mau ngasih nilai lo?”

Yeonjun tampak acuh, tanggung, itu yang ingin ia katakan kendati urung capai suaranya sebab ia tahu Beomgyu akan kembali marah-marah.

“Kak Yeonjun,” panggilnya final, lembut sekali. “Be a good kating, please?”

Choi Beomgyu and the way he begs.

Yeonjun tidak paham sejak kapan Beomgyu benamkan mantra pada jiwanya, sebab ketika Beomgyu katakan sesuatu dan memohon padanya, Yeonjun mutlak turuti inginnya.

“Oke. As you wish.”

Aktivitas mereka berulang. Rupanya menyelam dalam repetisi di mana Beomgyu menjadi pusatnya adalah anugerah. Sebab esoknya ketika Beomgyu kembali ke studio sehabis kelasnya selesai, kenakan pakaian yang biasa saja tapi ia sigap untuk kembali belajar berjalan seperti seorang model profesional, bertanya ini-itu perihal fesyen yang tak begitu ia pahami, buat Yeonjun seketika kehilangan lelahnya.

Hanya perihal menatap mata bulat Beomgyu yang miliki binar tanpa pernah temukan redupnya yang bertanya, “Kak, baju ini nama modelnya apa?”

Choi Yeonjun sempat lupa di mana ia berpijak sebab senyumnya lama ia ukir sampai Beomgyu harus kembali keluarkan suaranya.

“Kak?”

Yeah? Sorry, sorry, gue gak fokus, kenapa?”

Oh, jadi ‘gak fokus’ memiliki arti ‘kasmaran’ dalam kamusnya.

Lantas ketika Beomgyu mengerucutkan bibirnya kala ia kira kakak tingkatnya tak cukup memperhatikan, Yeonjun terkekeh sembari tutupi gemasnya. Padahal, Yeonjun sudah kelewat memperhatikan.

“Gak ah, males. Mending gue belajar jalan lagi.”

Tanpa perlu alasan yang pasti, Yeonjun tertawa.

Minggu berikutnya jelas mereka semakin dekat, Soobin hanya datang sesekali untuk mampir berikan makan jika kebetulan melewati studionya. Mahasiswa kedokteran itu tak bisa lama-lama temani kawan sedari kecilnya. Selain karena ia sibuk, ia paham bahwa Yeonjun telah temukan seseorang yang sudah seperti mimpi untuknya.

Jadi manakala Yeonjun tengah inginkan makanan yang biasa Soobin belikan, kini Beomgyu berinisiatif membeli.

“Serius lo gak pa-pa makan beginian terus?” junk food, maksudnya.

Yeonjun menggeleng, mengernyit. “Lo gak bolehin gue makan that ‘beginian?’”

Bermaksud jika Beomgyu melarang, Yeonjun tak perlu pikirkan dua kali alasan untuk menurutinya.

Beomgyu buat bahunya mengedik. “Lo, kan, kurus banget gitu pasti ketat soal makanan.”

Wrong idea.” Yeonjun tertawa padahal ia semula tengah fokus dengan manekin di depannya. “I have a pretty good metabolism. I eat a lot, for your information.

“Dih, I didn't even ask for my information.”

Untuk kali pertama, Yeonjun rasakan gelisah yang berbeda kala dapati wajah Beomgyu berpaling dan menaruh kresek berisi makanan itu sembarang.

Lucu, pikirnya. Lucu banget.

Hari-hari berikutnya tak kalah membuat Yeonjun nyaris gila. Kesalahan kecil membuatnya semakin frustasi. Beomgyu yang tak tahu harus membantu apa hanya sigap menepuk pundak Yeonjun dan menyuruh laki-laki itu untuk tenang sejemang.

Sampai ketika sepasang mata mereka bertemu, Yeonjun lanjutkan kepalanya bersarang dalam puncak depresi.

Tak boleh ada manusia secantik ini.

Mereka tampak tak lagi seperti dua orang teman. Teman mana yang repot memperbaiki rambut yang bahkan tidak berantakan? Teman mana yang memegangi kedua siku ketika laki-laki itu sedang berjalan ala seorang model? Teman mana yang mencuri satu pelukan dengan alibi membantu kenakan baju jahitannya? Teman mana yang benahi posisi tidur dan berikan selimut serta usakan lembut di kepala? Teman mana yang menatap seperti itu? Teman mana yang berpura-pura sibuk hanya untuk disuapi makanannya?

Cuma Yeonjun. Barangkali cuma Yeonjun, hanya saja, temannya harus Beomgyu.

Atau, teman mana yang kentara semringah kala diperlakukan seperti itu? Sebab Beomgyu mutlak begitu.

Kemudian sehari sebelum catwalk diselenggarakan, Yeonjun kenakan pakaian hasil jahitannya, a denim-panelled ribbed-knit jacket and pants, ia menawari Beomgyu ajakan makan malam. Beomgyu, yang perlahan selera fesyennya membaik, kenakan a cable-knitted hoodie dengan knitted shorts berwarna senada.

“Aduh, Kak, gue deg-degan, deh,” ucap Beomgyu seraya memegangi dadanya.

“Kenapa? Terlalu cakep guenya?”

Choi Yeonjun dan kepercayaan dirinya yang tak bisa disangkal itu membuat Beomgyu nyaris memiliki niat menancapkan garpunya pada sang lawan bicara. Ia mendengus. “Kepedean lo.”

“Jadi gue jelek?”

Telak. Beomgyu tak mampu menjawab.

Yeonjun tertawa melihat ekspresi Beomgyu yang salah tingkah, mengabaikan detak jantungnya yang tak kalah ramai dari pengunjung restauran. “Gue beneran jelek ternyata.”

“Kata siapa?!" Refleks, Beomgyu mengalihkan pandangan.

Choi Yeonjun tidak pernah tidak tampan. Beomgyu sendiri yang menjamin, sebagai seseorang yang pernah melihat kantung matanya menghitam, air liur yang basahi pipi kala terlelap saat merasa kelewat penat, Choi Yeonjun akan tetap selamanya menjadi presensi paling indah yang pernah ia ketahui.

“Nggak, nggak jelek, udah ah jangan diliatin terus guenya.” Beomgyu merengek, semakin lucu. “Gue deg-degan buat besok, the runway, udah, jangan ditambahin deg-degannya.”

Andai Beomgyu tahu, ketika Yeonjun antarkan dirinya sampai depan pintu rumah, Yeonjun menggigit lengannya sendiri. Gemas.

Yeonjun berulang melihat Beomgyu berjalan dengan elegan di atas catwalk sembari mengenakan busana rancangannya.

Pada round pertama, Beomgyu kenakan corset coat hitam berdasar fur fabric dengan straps pada bagian dadanya menemani wide leg pants beserta boots berwarna senada. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai dan meliuk searah dengan tempo langkah kakinya.

Choi Yeonjun selalu yakin hasil karyanya memukau, dia hanya tak menyangka bahwa Beomgyu sematkan sempurna pada rancangan penuh cacatnya.

Round kedua Beomgyu melenggang lagi dengan gaya rambut yang sama, tergerai indah menyerupai nirwana. Apron layer midi dress berwarna marun berdasar kain satin itu tampak elegan kendati menjadi inner dari sebuah crop top dark gray yang bertugas menjadi outer-nya. Langkahnya begitu manis bersamaan dengan suara ketukan yang diciptakan dari heels pada ankle boots-nya.

Yeonjun jadi ingat bagaimana ia beralibi memeluknya hari itu.

Sekarang saatnya round terakhir. Yeonjun memilih metalic threading tweeds set untuk Beomgyu. The tweed jacket itself describes how fancy the fabric and the design is, and then there Choi Beomgyu wears it pairing with tweed shorts and pull-on boots.

Choi Beomgyu is so undeniably extremely fine.

As if there’s a word means more than how pretty, how captivating, how magnificent his presence is.

Yang nyaris membuat Yeonjun pingsan bukan karena kelelahan pun mendapat skor tertinggi untuk tugas besarnya kali ini, namun kepangan rambut Beomgyu menjadi alasan telak bagaimana Yeonjun temukan batas pada warasnya.

Cukup.

Ketika akhirnya Choi Yeonjun yang kenakan methalic tweed long sleeve serupa dan wide leg pants seperti yang beberapa waktu lalu dipakai Beomgyu, ia bungkukkan tubuhnya lantas menggandeng tangan calon musisian itu. Di atas stage, sebagai sepasang fashion designer dan model runway, Yeonjun titipkan perasaan pada di mana tangannya menggenggam.

Mereka kembali ke backstage setelah acara benar-benar selesai. Ketika Beomgyu pamit ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya, dering telepon pada ponsel di saku celananya terdengar.

“Makasihnya mana?”

Yeonjun paham bahwa seingatnya mahasiswa kedokteran itu benar-benar terlihat lebih sibuk dibanding dengan dokter spesialis sendiri, jadi satu panggilan telepon sudah sangat berarti untuknya.

Thank you.” Yeonjun tersenyum.

Soobin tertawa di ujung sana. “Nggak, bukan buat semuanya, buat nyariin modelnya.”

Yeonjun malu bukan buatan.

I used to find a model for your runway.” Ada jeda yang kentara. I didn’t expect I turned out choosing the best candidate for your heart as well.”

Cringe.”

“Ajak pacaran sono,” titah Soobin enteng. “Awas aja kalo udah pacaran, gaya lo berdua lebih cringe!”

Yeonjun hanya tertawa kecil sebagai balasan.

“Udah ah, calon dokter sibuk, nih. Might as well planning to spare my weekend to celebrate your sleepless hard work.

Telepon ditutup bersamaan dengan pintu kamar mandi yang terbuka.

Merasa canggung, Beomgyu mencicit bertanya, “Did I do good enough?”

More than enough, more than I’ve ever expected. Intinya gue puas banget. Makasih, ya.” Ada ketulusan yang bangkit dari bagaimana matanya berbinar. Choi Yeonjun lesatkan satu anak panah berlumurkan pesona dari caranya menatap, pantas saja banyak yang terjerat.

Pantas saja Beomgyu tak temukan jalan keluar.

Hening sejemang, kehilangan kata, tak tahu harus sampaikan apa, keduanya salah tingkah.

“Gyu, what if…

Beomgyu diam menanti sang lawan bicara genapkan kalimatnya.

What if I tell you something's uncomfortable?”

Beomgyu menggeleng. “Kenapa? I didn't do good?”

Yeonjun panik menggeleng. “Nah, you did good —amazing. I just...

Just?” Beomgyu mengeryit. “You haven’t said anything, why would you daresay I might be uncomfortable?”

Because it involves feelings?”

What feelings?”

Tak mungkin Yeonjun sanggup katakan sesuatu pada presensi yang kelewat memesona ini. Hanya dengan sekali menatapnya, Yeonjun luruhkan warasnya. Hanya dengan satu sekon, barangkali Yeonjun juga lumpuhkan sarafnya.

Sebab kemudian lututnya tak sanggup menahan beban tubuhnya, sebab lidahnya kelu. Ia rasakan tangannya berkeringat, gelisah.

I-I have some complicated feelings for you , romantically.

Complicated because he loves the way Choi Beomgyu sits next to him, but he also loves the way Beomgyu stands in front of him, stares at his couple siren eyes, sparkling.

Complicated because he wants to know how to give the world and everything in it to Beomgyu, but he knows that the world and everything in it will never even be enough.

Complicated because the feeling he has is lifted, but he instead falls deeper.

Yeonjun meraih tangan Beomgyu dengan tatapan yang gelisah sebab hatinya penuh harap. “I just don’t wanna give you burdens for what I’m feeling.”

Sampai Beomgyu akhirnya menggenggam balik telapak tangan yang mendingin itu.

Why do you not? Just give me the burdens already,” ucap Beomgyu, lembut, tunjukkan senyum seolah dia adalah manusia paling cantik di dunia.

Curang. Dia memang paling cantik, seharusnya dia tidak perlu berusaha lagi untuk itu.

Beomgyu tersenyum, sempurnakan kalimatnya, “And for what it’s worth, I’ll give you the same.”

Yeonjun rasakan seluruh tubuhnya membeku, ia seolah bisa rasakan pembuluh darahnya tak bekerja sebagaimana mestinya, dengan berhenti di bagian pipinya, membuatnya merah; matang.

Telak, pada akhirnya Yeonjun akui Beomgyu adalah penyihirnya.

Both of them didn’t even recognize that they’re still in the public room.

Because the kisses taste so perfect, we all get it. []

--

--

h.

i share my love here —love to write, love to praise, love to dream, and love to love you.